Saturday, January 19, 2013

Korea #1

Terima kasih. Kamu membawa saya ke negara yang tepat di hati yang tepat.

Coffee War Kemang! Ketika itu saya dan dua orang teman saya yang lain menyusun perjalanan ke Vietnam dengan transit dulu di Singapura. Target 2012 hanya itu.

Sampai di suatu waktu saya dan kamu dipertemukan. Kita berkenalan, kamu cerita rencanamu, aku pun begitu. Sampai akhirnya kamu ajak saya ke negara yang bahkan tidak terpikir oleh saya sama sekali. Saya mengiyakan dan ubah rute perjalanan tiket. “Banyak tiket Jakarta Singapura yang murah.”, katamu.

CRV dan Taksaka pasti akan menyimpan cerita-cerita kita dulu dengan baik. Dari cerita jujur sampai gombal. Dari cerita rahasia sampai cerita buatan. Dan perjalanan Jakarta-Jogja yang berakhir di Jakarta menutup kisah kita dengan sempurna.


Kita hanya dipertemukan sebentar saja sebelum perjalanan musim gugur dimulai. Saya yakin ini pertanda baik, karena artinya Tuhan sedang menyiapkan pasangan hidup saya yang setia dan jujur.
 
Lagu wajib ketika di udara selain Empire State of Mind (Alicia Keys). Lagu ini menemani saya dalam “My First Solo Traveled” perjalanan tujuh jam saya ke Bandara Incheon, Seoul, Korea Selatan
Menu santap pagi GA-878: Sliced fresh fruits; fruit yoghurt; natural omelette, chicken sausage and ratatatouille; bread and butter; hot tea.
Detik-detik menuju pemeriksaan dari Departemen kesehatan dan 15 menit tertahan di imigrasi sampai akhirnya diloloskan.
Selamat datang musim gugur. Selamat datang cuaca tujuh derajat celcius. Sarangheyo!




Jakarta, 17 Januari 2013

Tentang Menikah

First your parents, they give you your life, but then they try to give you their life. – Cuck Palahniuk.

Saya sedang berpikir keras mengenai pernikahan. Okelah alasan menikah karena sudah cukup umur, sudah dipertemukan dengan pasangan hidup, dan dorongan dari orang tua. Lalu?

Jika alasannya “tidak siap tinggal sendiri, tidak siap meninggalkan rumah orang tua” bukannya justru orang tua menanggung biaya hidup dua keluarga. Artinya apakah orang tua senang dengan keadaan seperti itu. Mungkin ikhlas, tapi bagaimana dengan perasaan. Apakah mereka senang anaknya yang sudah menikah belum bisa mandiri. Bangun tidur makanan sudah tersedia. Pulang kerja rumah sudah bersih. Bahkan melihat orang tua masak atau membersihkan rumah pun anak yang sudah menikah itu diam saja. Alasannya masuk akal : hamil muda.

Lalu apakah orang tua tidak terlalu memanjakan anaknya kalau seperti itu. Apakah orang tua tidak ingin melihat mereka membangun rumah tangganya sendiri. Dimulai dengan meninggalkan rumah orang tua. Bisa kos, bisa kontrak rumah, atau kalau dana mencukupi beli rumah. Bukannya orang tua senang kalau anaknya bisa mengurusi suaminya sendiri. Menyiapkan santapan paginya, membawakan bekal makan siang, dengan memasak makanannya sendiri. Hasil jerih payah sendiri.

Bisa jadi saya yang terlalu iri melihat orang tua yang memanjakan anaknya. Mungkin saya tidak bisa terima orang tua masih saja menanggung biaya hidup anaknya yang sudah menikah. Kalau saja saya tidak belajar dari kondisi itu, saya itu ndablek! Sableng! Edan!

Bagaimana jika dilihat dari anak yang sudah menikah. Sebenarnya apa yang membuat mereka tidak siap meninggalkan rumah orang tua. Apa yang membuat mereka tidak siap hidup mandiri, lepas dari tanggungan orang tua. Bukankah anak yang sudah menikah itu sudah dapat menghasilkan uang. Kalau belum bisa, apakah mereka tidak bisa mempertanggungjawabkan keputusan mereka untuk menikah, apakah pantas menikah lalu membebani orang tuanya.

Lalu apa arti menikah menurutmu? Apa maknanya?

Kelak ketika saya sudah menikah, saya tidak ndablek.

 
Jakarta, 17 Januari 2013
 
 
Copyright © TITA
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com