Wednesday, November 27, 2013

Among ring Acintya, Om Awighnam Astu namo Siddham

Dan teringat Nyoman Sura. Seniman yang saya tidak akan pernah lihat lagi di dunia ini secara nyata. Untuk pertama dan terakhir kalinya di Gedung Kesenian Jakarta, beberapa tahun yang lalu. Bukan menjadi penari latar atau pelengkap. Namun sudah menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan ketika menari bersama Ayu Laksmi. Saling memberikan energi. 

Wong pertama kali lihat fotonya saja saya sudah suka. Apalagi lihat beliau menari. Tubuh kekar, badan penuh lukisan, penuh penghayatan. Seperti memberikan nyawa dan makna di setiap gerakan. Seperti ada yang ingin disampaikan. 

10 April 1967, Desa Kesiman, Denpasar, Bali. Seperti yang saya kutip dari laman Kelola bahwa Sura dibesarkan dalam keluarga petani yang tekun. Kedua orang tuanya menanamkan disiplin dan tanggung jawab yang kuat pada dirinya. Sejak kanak-kanak Sura aktif membantu orang tuanya menggarap sawah. Dalam usia tujuh tahun, di sela kesibukan sekolah, Sura gemar menonton latihan tari di balai banjar. Sura senang mengamati gerakan-gerakan tari Bali yang diperagakan peserta latihan. Acapkali, di luar kalangan dia asyik sendiri menirukan gerakan para penari. Karenanya, bukan main girang hatinya ketika dia diijinkan ikut latihan.

Menuju Kremasi
Itulah kali pertama Sura berkenalan dengan seni tari Bali. Sebagai pemeluk agama Hindu Bali, bersama teman-temannya Sura kecil sering ngayah: menari di berbagai pura di lingkungan desa kelahirannya sebagai ungkapan terimakasih kepada dewata. Begitulah, sebagai seniman Sura tumbuh dalam lingkungan masyarakat Bali yang religius. “Saya belajar tari Bali dari dasar. Jadi saya paham pakem-pakem tari Bali,” ujarnya. Sura sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial yang berkaitan dengan adat dan agama. “Di Bali komunitas adat mengharuskan kami saling berinteraksi dan saling membantu. Untuk itulah kita harus mampu mengatur waktu di tengah berbagai kesibukan,” tuturnya.

Sampai pada akhirnya, Sura menjadi penari dan penata tari.
Among ring Acintya, Om Awighnam Astu namo Siddham. Semoga sudah menemukan ketenangan di tempat yang paling nyaman dan aman di sana, Bli I Nyoman Sura. Saya pun tidak akan pernah tahu kapan menghadapNya.


Jakarta, 26 November 2013.
teringat ketika buka facebook. Foto-foto diambil dari akun pribadi (facebook) beliau.

Sunday, November 24, 2013

Mufti Priyanka, "Gelinjang Neurotik Djiwo Sleborz1", Mixed Media, Site Specific, 2013

Deretan Karya
Ada Monyet
Ada Beruang
Jendela, Bir, dan Kata
'Nakal'
Gemes

Kalau penasaran, silakan datang langsung ke Galeri Nasional Gedung C. Pameran ini masih berlangsung sampai 12 Desember 2013. Untuk menemukan ruangan persegi panjang dua jendela dengan satu kaleng bir, kamu harus melewati hand cut paper installation karya Rudy Atjeh dulu.

Sungguh, pada awalnya saya pikir ini ruangan panitia. Saya melongok, ngintip, sampai akhirnya menjejak pelan. Dinding pertama yang saya ambil gambarnya, ya dua jendela, satu kaleng bir dengan tulisan di bawahnya. Jika baca kalimat itu saya ingat teman saya, Toha namanya. Saya jarang temukan tanda baca titik di antara kata yang ditulisnya. Seperti membiarkan pembacanya menentukan titiknya sendiri. Begitu kira-kira. Atau memang supaya kata-katanya mengalir saja. Entahlah. Tapi saya suka gaya penulisannya.

Mufti Priyanka, lahir di Bandung, 5 Juli 1980, begitulah seperti dikutip dari buku katalog SEA+ Triennale 2013. Seperti mewakili perhelatan panggung sandiwara kehidupan. Ah, saya tidak mau komentar banyak.


Jakarta, 23 November 2013

Suara Konsumen: SPBU Shell

sumber : klik disini
Sejak kantor tempat saya bekerja (dahulu) pindah ke Jalan Panjang, motor menjadi andalan saya nomor satu menuju kantor. Mobil sudah sangat tidak mungkin. Apalagi angkutan umum. Banyak alasan. Daripada dibilang banyak alasan. Antisipasi dulu.

Berhubung motor baru, (sebenarnya juga masih motor pinjaman :p) saya mau bensin diisi dari SPBU yang bagus juga. Alasan utama memang bukan karena SPBU-nya yang bagus. Tapi lebih karena pesan orang tua, yang katanya bensinnya murni. Tidak ada campuran.

Di Jakarta, SPBU Shell relatif mudah didapatkan. Masalahnya adalah pelayanan setiap SPBU berbeda. Pelayanan SPBU di daerah Jalan Panjang berbeda dengan di Soepomo. Juga di MT Haryono, dll. Masing-masing punya ciri khas, plus minus. Pernah beberapa kali dicuekin. Ada yang asyik ngobrol sendiri, sesama petugas. Bahkan saya hampir-hampir tidak dilayani kalau saya tidak panggil.

Dari sekian banyak SPBU Shell yang saya datangi, tempat favorit saya ada di MT Haryono (tepatnya sebelum Tebet Green). Sejauh ini memang belum pernah dikecewakan. Petugasnya ramah dan sigap. Yang pasti tidak saya tidak pernah dicuekin :p

Keep up the good work bro!
Jakarta, 23 November 2013.

Demi Lunang

Karya Iwan Effendi
Karya Iwan Effendi

Don't deny it*

I miss you*


*Karya Lulusan ITB, tapi lupa catat siapa. Maaf ya.


Demi Finding Lunang di Pasar Seni, Parkir Timur Senayan.
Lebih jauh mengenai Pasar Seni : klik disini

Jakarta, 3 November 2013.
 
 
Copyright © TITA
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com