Wednesday, October 14, 2015

Pandangan Mengenai Senioritas Junioritas Dalam Rangka Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean


Senioritas dan junioritas dapat ditemukan dan dirasakan di berbagai tempat. Kalau ditanya berakibat seperti apa, baik atau buruk, menurut saya tergantung.

Ada yang bilang, kenapa saya tidak terima dengan senioritas junioritas, padahal dulu saya kuliah jurusan Bahasa Jepang. Dia bilang, “di Jepang kan biasa. Selain memang di sana ada budaya senioritas junioritas”. Menurut saya ini tidak ada korelasinya.

Teman saya, yang dulu sama-sama kuliah Bahasa Jepang di Depok, lalu lanjut kuliah master di Jepang, dan saat ini bekerja di Jepang (Perusahaan Jepang) berkata, “Di Tosh*ba, kalau kamu ngga ngerti Bahasa Jepang, teman kamu akan ngomong Bahasa Inggris. Kalau kamu minta diajarin bahasa Jepang, dia akan ajarin kamu. Bahkan bakalan diajarin Bahasa Jepang komplit yang diterjemahin ke Bahasa Inggris. Banyak banget orang kaya gitu di sini. Kamu lagi diem aja, disamperin terus diajak ngomong. Kalau saling ngga ngerti, pakai bahasa campur-campur dan bahasa tubuh”.

Bahkan di Perusahaan Jepang yang ada di Jepang pun tidak semua memberlakukan senioritas junioritas. Di Indonesia juga begitu. Tidak semua perusahaan memberlakukan hal tersebut. Namun memang di Jepang sangat kental sekali senioritas junioritasnya. Contohnya ketika atasan dan bawahan pergi bersama-sama naik mobil, atasan harus duduk di bangku paling belakang. Kalau tidak, beliau akan tersinggung atau menganggap bawahannya tidak hormat.

Saya pikir, teman saya ini beruntung sekali dapat tempat kerja yang lingkungannya saling mendukung. Tidak ada jarak antara senior dan junior. Meskipun sewaktu di bangku kuliah, dia bilang senioritas junioritas kental sekali di Jepang. Hal ini juga saya alami ketika saya sekolah di Jakarta. Saya merasakan senioritas junioritas, saya juga melakukan, saya menjalani, dan saya tidak suka.

Lalu saya menarik kesimpulan, senioritas dan junioritas hanya berlaku di bangku sekolah. Ini pun berlaku jaman dulu. Kalau sekarang sudah tidak jamannya lagi.

Senior saya bilang, senioritas junioritas itu supaya mental kamu lebih kuat, lebih tangguh. Bisa jadi begitu. Bisa jadi apa yang diperlakukan senior saya ke saya, dilakukan oleh para seniornya senior saya. Jadi apa yang dirasakan senior saya, harus dirasakan juga oleh saya.

Bisa jadi kan? Lalu saya terpikir untuk memutus rantai senioritas junioritas. Berhasil? Menurut saya lumayan karena senioritas junioritas sudah tidak relevan di jaman sekarang.

Kalau ada yang tanya kenapa saya menarik kesimpulan kalau senioritas junioritas hanya berlaku di bangku sekolah? Karena kalau sudah bekerja, baik menjadi profesional, eksekutif, wirausaha, butuh kolaborasi. Kolaborasi ini susah tercipta kalau ada jarak. Jarak, salah satunya adalah manifestasi dari senioritas junioritas.

Siapapun yang membaca tulisan ini dan sedang menghadapi senioritas junioritas, saya sarankan HADAPILAH. Lalu buatlah kesimpulanmu sendiri.

Setelah itu, fokuslah untuk mempersiapkan segala hal dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Ini penting dan keren. Siap-siaplah jadi Warga Negara Indonesia yang mengglobal.


Lalu apa itu MEA? Mengutip dari laman BBC, lebih dari satu decade lalu, para pemimpin Asean sepakat membentuk sebuah pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara pada akhir 2015 mendatang.

Ini dilakukan agar daya saing Asean meningkat serta bisa menyaingi Cina dan India untuk menarik investasi asing. Penanaman modal asing di wilayah ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan.

Pembentukan pasar tunggal yang diistilahkan dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) ini nantinya memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara sehingga kompetisi akan semakin ketat.

Sejalan dengan MEA, teman saya meminjamkan buku berjudul ‘Global Career’ yang ditulis oleh Handi Kurniawan. Saya habiskan dalam waktu singkat dan bukunya keren. Banyak warga Indonesia yang super keren. Inspiratif. Seperti kutipan wawancara Handi dengan Astrid Sri Haryati berikut:

Global lenses, local senses

Menggunakan lensa global berarti kita meneropong dari dalam ke luar atau dari luar ke dalam. Hal ini sangat penting karena competitiveness, integritas, dan branding kita perlu dijaga. Kita tidak pernah tahu kemajuan kita sampai di mana kalau tidak punya perbandingan. Sementara local senses mengaitkan kita untuk selalu relevan dengan keseharian.

Revisit, repackage, relaunch

Karena selamanya kita tidak pernah berada dalam satu dimensi saja. Pada saat tertentu kita harus menilai kembali posisi kita (revisit). Setelah itu kita harus menyesuaikan diri dengan tetap memegang integritas kita (repackage). Aksi selanjutnya adalah relaunch yaitu menunjukkan kemampuan serta menyampaikan ide, dan mengambil risiko.

Ini mengubah pemikiran saya mengenai perbandingan. Menghadapi MEA atau tidak, kita harus punya perbandingan karena kita tidak akan pernah tahu kemajuan kita sampai di mana kalau tidak punya perbandingan.

Jadi sekarang fokuslah ke MEA. Budi Soehardi (pilot Singapore Airlines) berkata, “Be good and you will be okay”.


Jakarta, 14 Oktober 2015

Thursday, May 28, 2015

Hilang

di Nu Art Gallery, Bandung
Ibu selalu bilang kalau memang sudah waktunya untuk hilang, pasti hilang. Kalau yang hilang ditakdirkan untuk kembali, pasti kembali. Semudah itu.

Persoalannya bagaimana menjalani kehilangan dengan legowo kalau setiap kehilangan itu adalah kehilangan yang tidak dikehendaki. Lalu saya bertanya ke diri sendiri, memang ada ya kehilangan yang dikehendaki. Mungkin ada jika sudah melalui jeda.

Jeda itu nantinya akan membuat saya dan kamu lega. Paling tidak kita tahu bahwa hati tidak untuk dibohongi. Kamu, kita akan menemukan jalanNya. Memang hanya untuk dipertemukan, bukan untuk dipersatukan.


Jakarta, 7 Mei 2015
 
 
Copyright © TITA
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com