Sunday, March 27, 2016

Terima Kasih: Miyagi Gandaria City

Dua set bento untuk siang ini, seusai kepulangan kami dari perayaan paskah di Gereja Asisi, Tebet. Kami berkesempatan mencicipi dua set bento di Restoran Miyagi yang ada di Mal Gandaria City, Jakarta Selatan. Dulu saya sempat mengira tempat ini adalah perpustakaan, karena memang seperti itulah yang terlihat dari eskalator. Meja-meja kecil untuk dua orang dengan kursi yang berhadapan dan suasana yang tenang. Ternyata setelah masuk ke dalam restoran, tempat ini cukup luas dan menempati dua lantai. 

Meja tengah. Tempat saya duduk.
Memasuki Miyagi, suasananya terasa agak formal dan kaku, namun tidak lama kemudian kami disambut bau harum seperti bau aroma terapi, dengan penerangan yang hangat juga penempatan alat makan di meja dan desain ruangan yang memanjakan mata. Suasana yang awalnya kaku, mulai mencair. Tidak susah untuk menemukan restoran ini. Miyagi berada di lantai G, tepatnya di seberang Starbucks, di samping Fish & Co, persis di sebelah eskalator.

Saya pesan Bento Spesial A; dengan komposisi salmon teriyaki, spicy baked salmon maki, dan sup miso yang disajikan bersama dengan salad, chawan mushi, otoshi dan nasi. Ibu memilih Bento Spesial B; gindara teriyaki, ura maki, sup miso, dengan tambahan yang sama seperti yang saya pesan, yaitu salad, chawan mushi, otoshi, dan nasi. Untuk minum, kami pesan ocha panas

Spicy Baked Salmon Maki
Bagaimana rasanya? Kalau ada kesempatan, lalu saya akan datang untuk kunjungan berikutnya, lagi, dan lagi. Saus teriyaki yang ada di salmon terasa pas, tidak terlalu kental dan tidak encer. Pun spicy baked salmon maki. Buat saya, yang bukan pecinta sushi, filling-nya tidak berlebihan. Untuk chawan mushi, itulah pengalaman pertama saya mencicipinya. Saya pikir itu adalah puding yang rasanya manis. Namun chawan mushi yang saya santap rasanya hangat dan tidak manis. Setelah saya lihat lagi di menu, chawan mushi Miyagi terbuat dari steamed egg custard dengan ayam dan jamur. 

Empat tahun belajar bahasa Jepang di bangku pendidikan formal ternyata bukan jaminan paham kuliner Jepang. Belajar lagi yang banyak. 

Arigato Gozaimasu Miyagi.


*Foto-foto diambil dari lulabyspoon

Saturday, March 26, 2016

Oleh-oleh dari Festival Penulis Singapura 2015. Sebuah Cerita.

Kepergian saya ke Singapura tahun lalu adalah untuk yang pertama. Iya yang pertama. Tiket pesawat sudah saya beli satu tahun sebelum keberangkatan, yang saya cocokkan dengan jadwal Festival Penulis Singapura 2015 atau yang dikenal dengan nama Singapore Writers Festival (SWF). 

Katalog Festival
Setelah Ubud Writers & Readers Festival (UWRF), Bali Emerging Writers Festival (BEWF) dan festival lain yang pernah saya ikuti, saya ingin bergabung dalam festival yang diadakan di luar negeri. Pilihannya pada waktu itu adalah Singapura atau Australia. Lalu saya pilih Singapura karena tidak perlu visa. 

Setelah berkorespondensi dengan staf SWF, diputuskan bahwa saya belum berkesempatan untuk bergabung dalam festival, sebagai relawan. Patah hati, tapi akan saya coba lagi. Kapan-kapan :p

A Literary Focus on Indonesia
Festival yang diselenggarakan di beberapa tempat selama 10 hari ini mengambil tema "Island of Dreams" atau Pulau Aspirasi dengan Indonesia menjadi fokusnya. 17.000 Islands Dreaming, a literary focus on Indonesia menghadirkan sejumlah penulis dan penampil dari Indonesia. Sebutlah Agustinus Wibowo, Laksmi Pamuntjak, Zen Hae, Sujak Rahman, Niniek L. Karim, Sri Hanuraga dan masih banyak lagi. Kabarnya Ayu Utami batal hadir di festival ini. 

Elizabeth Inandiak menampilkan Servants of the Word bersama Landung Simatupang, Jennifer Lindsay dan Endah Laras, yang diadakan di The Art House Chamber dengan tiket masuk $15. Pertunjukan serupa, dengan format berbeda tentunya, pernah saya hadiri di Teater Salihara, Jakarta. Pada waktu itu Elizabeth tampil bersama dengan Alm. Slamet Gundono dengan wayang suketnya. 

Pertunjukan ini diramu dari tiga teks, yaitu Serat Centhini (The Serat Centhini), Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan (Centhini: Forty Nights and One of Rain), dan Pengakuan Pariyem (Pariyem's Confession). Sepertinya menarik, namun saya tidak dapat hadir.

Wobology
Wobology. Acara pertama yang saya hadiri di SWF, tepatnya di halaman The Art House (TAH). Saya berhenti di pertunjukan musik ini karena melihat Deborah Emmanuel. Deborah, pada tahun yang sama, hadir juga di BEWF. Musiknya, tidak hingar bingar dan bercerita, enak dinikmati bersama teman-teman (sambil minum bir). Ah, seandainya Deborah diundang ke Bali bersama dengan grupnya, lalu tampil di pinggir pantai sambil bersama-sama menikmati matahari yang lambat laun kembali ke peraduan. Hmm. Syahdu.

Chuah Ai Lins
Kemudian saya pindah ke Asian Civilisations Museum (ACM). Saya hadir dalam dua sesi dongeng yang berbeda, yaitu Chuah Ai Lin (Threshold Stories) dan Adib Kosnan (Stories About Us). Adib Kosnan, asal Singapura, membawakan tiga cerita tentang rakyat Singapura. Sore harinya saya menikmati pertunjukan dari Dawn Wong dan Kailin Yong. Mereka bermain vokal dan ukulele. Pas untuk mengiri senja yang beranjak malam. Lalu sebagai penutup di hari itu, saya datang ke Story Slam Singapore. Semacam Stand Up Comedy, namun ini cerita kehidupan yang nyata.  Mereka tidak malu-malu membagikan bagian kehidupan mereka, dengan tidak disensor.  Pengisi acara sukses membawa perasaan penonton, dari yang sedih, serius, sampai tertawa terpingkal-pingkal. Sebelum acara dimulai, pembawa acara mengumumkan bahwa di depan panggung sudah tersedia papan yang boleh diisi oleh pengunjung. Di papan ada pertanyaan "What did you want to be when you were growing up?". Ada yang menuliskan not-disappointing Asian, tai-tai, paleonthologist, pokemon master, conservationist doctor, dan jawaban unik lainnya. Ini benar-benar hal yang baru buat saya dan sangat menarik, terlebih tulisan pengunjung "not-disppointing Asian". Jawaban yang lumayan dalam. Selengkapnya tentang Story Slam Singapore silakan merujuk ke laman ini www.storyslamsingapore.com.

Creative Arts Programme
Hari berikutnya, 2 November 2015, saya datang ke Creative Arts Party yang bertempat di Timbre Music Academy (TMA). Semacam sharing session dari para anggota Creative Arts Programme (CAP), yang pada hari itu mereka merayakan ulang tahun yang ke-25. CAP sendiri adalah Program Menulis Kreatif yang dibuat oleh Pemerintah Singapura, tepatnya Kementrian Pendidikan, yang diadakan setahun sekali.

Hari terakhir, 3 November 2015, hari terakhir saya berkunjung ke SWF, saya menghadiri diskusi buku Singathology: What We
Diskusi Singathology
Talk About When We Talk About Singapore.
Ada 50 cerita yang ditulis oleh 47 penulis dengan empat bahasa, yaitu bahasa Inggris, Cina, Tamil, dan Melayu. Tidak hanya diskusi, tetapi juga pembacaan karya yang dibacakan langsung oleh penulisnya. Singathology diluncurkan dua hari kemudian, 5 November 2015 di Galeri Nasional Singapura.

Ini oleh-oleh dari SWF dari saya untuk kamu. Sebuah cerita.

(bersambung ke Oleh-oleh dari Festival Penulis Singapura 2015. Sebuah Cerita Bagian Kedua)

Terima Kasih: Mba Umi

monkey, emoji, and outfit imageSaya berencana untuk menulis "30 Hari Berterima kasih". Terima kasih untuk siapa saja yang pada hari itu ingin saya tuliskan. Semoga saya bisa menuntaskan rencana saya.

Terima kasih yang pertama saya dedikasikan untuk Mba Umi. Kenapa Mba Umi? Karena namanya sama dengan mama saya. Hee. Becanda. Mba Umi punya pijatan yang paling enak. Siang itu setidaknya saya menunggu hampir satu jam karena Mba Umi ada tamu dan diselingi juga dengan makan siang.

"Mba, mba Umi masih lama karena masih 'pegang' tamu dan katanya mau makan dulu", kata resepsionis salon langganan saya. Saya bilang ngga masalah, toh juga potong rambut dulu. "Mbaknya setia banget", lanjut dia. Saya bilang, "Cuma dia yang pijetannya paling enak".

Tidak seperti biasa, pada waktu itu saya mengobrol banyak dengan mba Umi. Saya tanya, "Mba Umi ngga libur?". "Aku liburnya setahun cuma sekali. Pas Lebaran. Itu juga ngga pulang kampung. Ngga sempet. Ini kan salonnya buka terus pas hari libur. Aku tuh lupa kalau hari ini libur. Tadi pagi mau ke bank, bank-nya tutup. Malah borong banyak di pasar. Beli tas lah, beli baju. Wah kalau udah ke pasar udahlah beli barang banyak. Tadi maaf ya mbak nunggu lama. Aku hari ini nggak masak. Jadi harus beli makan dulu di luar. Biasanya aku masak sambel dulu." Jawabnya.

Lalu saya tanya makanan apa yang dibeli. Beliau jawab nasi, jengkol dan lodeh. Biasanya dia hanya makan nasi, sambal dan ikan teri. Itu saja. Jadwal makannya pun suka-suka. 

Mbak Umi sudah ada di salon ini sejak saya kecil. Pada waktu itu mama saya sudah suka memakai jasa beliau. Mba Umi jadi seperti hadjr dalam dua generasi dan dia sudah sangat tahu apa yang saya mau. Creambath rasa strawberry dan pijatan yang enak. 

Terima kasih mba Umi. Kalau kamu sedang cari salon, untuk creambath, di daerah Tebet, temui Mba Umi di Salon Evergreen, Tebet Utara. 


Jakarta, 26 Maret 2016.

 
 
Copyright © TITA
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com