Senioritas dan junioritas dapat
ditemukan dan dirasakan di berbagai tempat. Kalau ditanya berakibat seperti
apa, baik atau buruk, menurut saya tergantung.
Ada yang bilang, kenapa saya
tidak terima dengan senioritas junioritas, padahal dulu saya kuliah
jurusan Bahasa Jepang. Dia bilang, “di Jepang kan biasa. Selain memang di sana ada budaya senioritas junioritas”. Menurut saya ini
tidak ada korelasinya.
Teman saya, yang dulu sama-sama
kuliah Bahasa Jepang di Depok, lalu lanjut kuliah master di Jepang, dan saat
ini bekerja di Jepang (Perusahaan Jepang) berkata, “Di Tosh*ba, kalau kamu ngga
ngerti Bahasa Jepang, teman kamu akan ngomong Bahasa Inggris. Kalau kamu minta
diajarin bahasa Jepang, dia akan ajarin kamu. Bahkan bakalan diajarin Bahasa
Jepang komplit yang diterjemahin ke Bahasa Inggris. Banyak banget orang kaya
gitu di sini. Kamu lagi diem aja, disamperin terus diajak ngomong. Kalau saling
ngga ngerti, pakai bahasa campur-campur dan bahasa tubuh”.
Bahkan
di Perusahaan Jepang yang ada di Jepang pun tidak semua memberlakukan
senioritas junioritas. Di Indonesia juga begitu. Tidak semua perusahaan
memberlakukan hal tersebut. Namun memang di Jepang sangat kental sekali
senioritas junioritasnya. Contohnya ketika atasan dan bawahan pergi
bersama-sama naik mobil, atasan harus duduk di bangku paling belakang. Kalau
tidak, beliau akan tersinggung atau menganggap bawahannya tidak hormat.
Saya
pikir, teman saya ini beruntung sekali dapat tempat kerja yang lingkungannya
saling mendukung. Tidak ada jarak antara senior dan junior. Meskipun sewaktu di bangku kuliah, dia bilang senioritas
junioritas kental sekali di Jepang. Hal ini juga saya alami ketika saya sekolah di Jakarta. Saya merasakan senioritas junioritas, saya juga
melakukan, saya menjalani, dan saya tidak suka.
Lalu saya menarik kesimpulan,
senioritas dan junioritas hanya berlaku di bangku sekolah. Ini pun berlaku
jaman dulu. Kalau sekarang sudah tidak jamannya lagi.
Senior saya bilang, senioritas
junioritas itu supaya mental kamu lebih kuat, lebih tangguh. Bisa jadi begitu.
Bisa jadi apa yang diperlakukan senior saya ke saya, dilakukan oleh para
seniornya senior saya. Jadi apa yang dirasakan senior saya, harus dirasakan juga oleh saya.
Bisa jadi kan? Lalu saya
terpikir untuk memutus rantai senioritas junioritas. Berhasil? Menurut saya
lumayan karena senioritas junioritas sudah tidak relevan di jaman sekarang.
Kalau ada yang tanya kenapa
saya menarik kesimpulan kalau senioritas junioritas hanya berlaku di bangku
sekolah? Karena kalau sudah bekerja, baik menjadi profesional, eksekutif,
wirausaha, butuh kolaborasi. Kolaborasi ini susah tercipta kalau ada jarak.
Jarak, salah satunya adalah manifestasi dari
senioritas junioritas.
Siapapun yang membaca tulisan
ini dan sedang menghadapi senioritas junioritas, saya sarankan HADAPILAH. Lalu
buatlah kesimpulanmu sendiri.
Setelah
itu, fokuslah untuk mempersiapkan segala hal dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Ini penting dan keren.
Siap-siaplah jadi Warga Negara Indonesia yang mengglobal.
Lalu
apa itu MEA? Mengutip dari laman BBC, lebih dari satu decade lalu, para
pemimpin Asean sepakat membentuk sebuah pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara
pada akhir 2015 mendatang.
Ini
dilakukan agar daya saing Asean meningkat serta bisa menyaingi Cina dan India
untuk menarik investasi asing. Penanaman modal asing di wilayah ini sangat
dibutuhkan untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan meningkatkan
kesejahteraan.
Pembentukan
pasar tunggal yang diistilahkan dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) ini
nantinya memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke
negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara sehingga kompetisi akan semakin
ketat.
Sejalan dengan MEA, teman saya meminjamkan buku berjudul ‘Global Career’ yang ditulis oleh Handi Kurniawan. Saya habiskan dalam waktu singkat dan bukunya keren. Banyak warga Indonesia yang super keren. Inspiratif. Seperti kutipan wawancara Handi dengan Astrid Sri Haryati berikut:
Global lenses, local senses
Menggunakan lensa global
berarti kita meneropong dari dalam ke luar atau dari luar ke dalam. Hal ini
sangat penting karena competitiveness, integritas,
dan branding kita perlu dijaga. Kita
tidak pernah tahu kemajuan kita sampai di mana kalau tidak punya perbandingan. Sementara local
senses mengaitkan kita untuk selalu relevan dengan keseharian.
Revisit, repackage, relaunch
Karena selamanya kita tidak
pernah berada dalam satu dimensi saja. Pada saat tertentu kita harus menilai
kembali posisi kita (revisit).
Setelah itu kita harus menyesuaikan diri dengan tetap memegang integritas kita
(repackage). Aksi selanjutnya adalah relaunch yaitu menunjukkan kemampuan
serta menyampaikan ide, dan mengambil risiko.
Ini
mengubah pemikiran saya mengenai perbandingan. Menghadapi MEA atau tidak, kita
harus punya perbandingan karena kita tidak akan pernah tahu kemajuan kita
sampai di mana kalau tidak punya perbandingan.
Jadi
sekarang fokuslah ke MEA. Budi Soehardi (pilot Singapore Airlines) berkata, “Be good and you
will be okay”.
Jakarta,
14 Oktober 2015