Dan teringat Nyoman Sura. Seniman yang saya tidak akan pernah lihat lagi di dunia ini secara nyata. Untuk pertama dan terakhir kalinya di Gedung Kesenian Jakarta, beberapa tahun yang lalu. Bukan menjadi penari latar atau
pelengkap. Namun sudah menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan
ketika menari bersama Ayu Laksmi. Saling memberikan energi.
Wong pertama kali lihat fotonya saja saya sudah suka. Apalagi lihat beliau menari. Tubuh kekar, badan penuh lukisan, penuh penghayatan. Seperti memberikan nyawa dan makna di setiap gerakan. Seperti ada yang ingin disampaikan.
10 April 1967, Desa Kesiman, Denpasar, Bali. Seperti yang saya kutip dari laman Kelola bahwa Sura dibesarkan dalam keluarga petani yang tekun. Kedua orang tuanya
menanamkan disiplin dan tanggung jawab yang kuat pada dirinya. Sejak
kanak-kanak Sura aktif membantu orang tuanya menggarap sawah. Dalam usia
tujuh tahun, di sela kesibukan sekolah, Sura gemar menonton latihan
tari di balai banjar. Sura senang mengamati gerakan-gerakan tari Bali
yang diperagakan peserta latihan. Acapkali, di luar kalangan dia asyik
sendiri menirukan gerakan para penari. Karenanya, bukan main girang
hatinya ketika dia diijinkan ikut latihan.
Menuju Kremasi |
Itulah kali pertama Sura berkenalan dengan seni tari Bali. Sebagai
pemeluk agama Hindu Bali, bersama teman-temannya Sura kecil sering
ngayah: menari di berbagai pura di lingkungan desa kelahirannya sebagai
ungkapan terimakasih kepada dewata. Begitulah, sebagai seniman Sura
tumbuh dalam lingkungan masyarakat Bali yang religius. “Saya belajar
tari Bali dari dasar. Jadi saya paham pakem-pakem tari Bali,” ujarnya.
Sura sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial yang berkaitan
dengan adat dan agama. “Di Bali komunitas adat mengharuskan kami saling
berinteraksi dan saling membantu. Untuk itulah kita harus mampu mengatur
waktu di tengah berbagai kesibukan,” tuturnya.
Sampai pada akhirnya, Sura menjadi penari dan penata tari.
Among ring Acintya, Om Awighnam Astu namo Siddham. Semoga sudah menemukan ketenangan di tempat yang paling nyaman dan aman di sana, Bli I Nyoman Sura. Saya pun tidak akan pernah tahu kapan menghadapNya.
Jakarta, 26 November 2013.
teringat ketika buka facebook. Foto-foto diambil dari akun pribadi (facebook) beliau.
0 comments:
Post a Comment