Hari itu memang Jakarta sedang macet luar biasa dan saya merasa jenuh dengan kemacetan. Memang, selain macet, saya sedang ada berbagai masalah. Semua diam di pikiran, lalu berebut mencari jalan keluar.
Saya mengendarai mobil pelanpelan dan semua berjalan baik, sampai saya di sebuah tempat, di terowongan Casablanca. Entah karena sedang berpikir atau melamun, saya mendengar bunyi yang cukup keras. Keadaan terowongan agak gelap, atau mungkin memang penglihatan saya agak kurang awas. Di depan mobil saya, ada seorang bapak yang menatap saya, sinis. Dia berhenti dengan motor yang kelihatannya hampir jatuh menyentuh aspal. Lalu saya juga berhenti, menunggu dia kembali mengembalikan posisi motornya, lalu mengecek bagian belakang kendaraannya. Kejadian itu tidak lama. Mungkin hanya sekitar sepuluh menit. Kemudian dia kembali menatap saya. Masih dengan tatapan sinis. Kaki saya gemetar, lalu saya lanjutkan perjalanan, pelanpelan.
Saya agak membenci firasat, baik manis atau pahit. Selalu saja saya acuhkan dia, purapura tidak tahu. Saya biarkan dia, dan menganggap bahwa yang seharusnya terjadi, terjadilah. Maka semuanya akan terasa lebih indah. Seperti yang banyak orang katakan bahwa semuanya akan indah pada waktunya. Klise, tapi saya sangat percaya dengan kalimat itu.
*teringat akan firasat-firasat yang terjadi selama tahun dua ribu sebelas.
Jakarta, 16 Mei 2011
0 comments:
Post a Comment