Saturday, March 26, 2016

Oleh-oleh dari Festival Penulis Singapura 2015. Sebuah Cerita.

Kepergian saya ke Singapura tahun lalu adalah untuk yang pertama. Iya yang pertama. Tiket pesawat sudah saya beli satu tahun sebelum keberangkatan, yang saya cocokkan dengan jadwal Festival Penulis Singapura 2015 atau yang dikenal dengan nama Singapore Writers Festival (SWF). 

Katalog Festival
Setelah Ubud Writers & Readers Festival (UWRF), Bali Emerging Writers Festival (BEWF) dan festival lain yang pernah saya ikuti, saya ingin bergabung dalam festival yang diadakan di luar negeri. Pilihannya pada waktu itu adalah Singapura atau Australia. Lalu saya pilih Singapura karena tidak perlu visa. 

Setelah berkorespondensi dengan staf SWF, diputuskan bahwa saya belum berkesempatan untuk bergabung dalam festival, sebagai relawan. Patah hati, tapi akan saya coba lagi. Kapan-kapan :p

A Literary Focus on Indonesia
Festival yang diselenggarakan di beberapa tempat selama 10 hari ini mengambil tema "Island of Dreams" atau Pulau Aspirasi dengan Indonesia menjadi fokusnya. 17.000 Islands Dreaming, a literary focus on Indonesia menghadirkan sejumlah penulis dan penampil dari Indonesia. Sebutlah Agustinus Wibowo, Laksmi Pamuntjak, Zen Hae, Sujak Rahman, Niniek L. Karim, Sri Hanuraga dan masih banyak lagi. Kabarnya Ayu Utami batal hadir di festival ini. 

Elizabeth Inandiak menampilkan Servants of the Word bersama Landung Simatupang, Jennifer Lindsay dan Endah Laras, yang diadakan di The Art House Chamber dengan tiket masuk $15. Pertunjukan serupa, dengan format berbeda tentunya, pernah saya hadiri di Teater Salihara, Jakarta. Pada waktu itu Elizabeth tampil bersama dengan Alm. Slamet Gundono dengan wayang suketnya. 

Pertunjukan ini diramu dari tiga teks, yaitu Serat Centhini (The Serat Centhini), Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan (Centhini: Forty Nights and One of Rain), dan Pengakuan Pariyem (Pariyem's Confession). Sepertinya menarik, namun saya tidak dapat hadir.

Wobology
Wobology. Acara pertama yang saya hadiri di SWF, tepatnya di halaman The Art House (TAH). Saya berhenti di pertunjukan musik ini karena melihat Deborah Emmanuel. Deborah, pada tahun yang sama, hadir juga di BEWF. Musiknya, tidak hingar bingar dan bercerita, enak dinikmati bersama teman-teman (sambil minum bir). Ah, seandainya Deborah diundang ke Bali bersama dengan grupnya, lalu tampil di pinggir pantai sambil bersama-sama menikmati matahari yang lambat laun kembali ke peraduan. Hmm. Syahdu.

Chuah Ai Lins
Kemudian saya pindah ke Asian Civilisations Museum (ACM). Saya hadir dalam dua sesi dongeng yang berbeda, yaitu Chuah Ai Lin (Threshold Stories) dan Adib Kosnan (Stories About Us). Adib Kosnan, asal Singapura, membawakan tiga cerita tentang rakyat Singapura. Sore harinya saya menikmati pertunjukan dari Dawn Wong dan Kailin Yong. Mereka bermain vokal dan ukulele. Pas untuk mengiri senja yang beranjak malam. Lalu sebagai penutup di hari itu, saya datang ke Story Slam Singapore. Semacam Stand Up Comedy, namun ini cerita kehidupan yang nyata.  Mereka tidak malu-malu membagikan bagian kehidupan mereka, dengan tidak disensor.  Pengisi acara sukses membawa perasaan penonton, dari yang sedih, serius, sampai tertawa terpingkal-pingkal. Sebelum acara dimulai, pembawa acara mengumumkan bahwa di depan panggung sudah tersedia papan yang boleh diisi oleh pengunjung. Di papan ada pertanyaan "What did you want to be when you were growing up?". Ada yang menuliskan not-disappointing Asian, tai-tai, paleonthologist, pokemon master, conservationist doctor, dan jawaban unik lainnya. Ini benar-benar hal yang baru buat saya dan sangat menarik, terlebih tulisan pengunjung "not-disppointing Asian". Jawaban yang lumayan dalam. Selengkapnya tentang Story Slam Singapore silakan merujuk ke laman ini www.storyslamsingapore.com.

Creative Arts Programme
Hari berikutnya, 2 November 2015, saya datang ke Creative Arts Party yang bertempat di Timbre Music Academy (TMA). Semacam sharing session dari para anggota Creative Arts Programme (CAP), yang pada hari itu mereka merayakan ulang tahun yang ke-25. CAP sendiri adalah Program Menulis Kreatif yang dibuat oleh Pemerintah Singapura, tepatnya Kementrian Pendidikan, yang diadakan setahun sekali.

Hari terakhir, 3 November 2015, hari terakhir saya berkunjung ke SWF, saya menghadiri diskusi buku Singathology: What We
Diskusi Singathology
Talk About When We Talk About Singapore.
Ada 50 cerita yang ditulis oleh 47 penulis dengan empat bahasa, yaitu bahasa Inggris, Cina, Tamil, dan Melayu. Tidak hanya diskusi, tetapi juga pembacaan karya yang dibacakan langsung oleh penulisnya. Singathology diluncurkan dua hari kemudian, 5 November 2015 di Galeri Nasional Singapura.

Ini oleh-oleh dari SWF dari saya untuk kamu. Sebuah cerita.

(bersambung ke Oleh-oleh dari Festival Penulis Singapura 2015. Sebuah Cerita Bagian Kedua)

0 comments:

Post a Comment

 
 
Copyright © TITA
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com