Friday, June 3, 2011

Katakatamu (Kedua)

Aku menyapamu dalam tidurku, lalu menanyakan arti kata ‘itu’. Kau jawab tak tahu. Semudah itu kau mengucap. Melihatmu, ternyata masih seperti dulu. Rambut gimbal, kaos pas badan, celana bolong-bolong, dan sepatu converse dekil. Tubuhmu masih sama, tonjolan tulangtulang di dadamu masih terlihat, luka di tangamu tidak hilang, juga tato mawar merah itu. Baumu juga masih sama, bau rokok. Aku berbisik sambil tersenyum, “Biar aku yang mencari arti ‘itu’ bersama diam. Kau bermainlah dulu”.


Perjalanan dimulai. Aku menaiki kuda pemberianmu. Kudaku makan sagu, seperti kuda yang kunaiki sewaktu di Bukittingi. Perjalanan ini akan panjang, pikirku. Demi kata ‘itu’ aku pasrah, tetapi tidak menyerah. Perjalanan yang kutempuh, mirip perjalanan kita dulu – sewaktu mencari ‘arti’- banyak berbatu. Batunya besarbesar, tiga kali besarmu. Di tengah perjalanan aku bertemu hujan. Hujannya juga besarbesar.


Aku tiba di tempat pemberhentian pertama, lalu bertemu bapak - kirakira berumur 70 tahun - yang sedang melamun. Aku bertanya ke dia tentang arti kata ‘itu’. Dia tanya balik ke aku, “Siapa yang mengeluarkan kata yang kau sebutkan tadi?”. Aku diam, tidak ingin menyebut namamu, lalu melanjutkan perjalanan ke Utara.


Selama perjalanan, aku memilih untuk diam. Diam pun begitu. Kemudian memutuskan untuk berhenti di balik hujan kecilkecil. Aku bertanya kepada hati, “Gimana menurutmu?”. Hati bilang begini : mengenai kata ‘itu’, bagiku tidak penting. Berhentilah melakukan perjalanan untuk mencari kata ‘itu’. Berjalanlah kembali pulang untuk berkarya, lalu berbagi. Kata ‘itu’ telah menyita seluruh waktu dan pikiranmu. Hanya karena kata ‘itu’, kamu kalah telak! Skak mat! Aku tahu kata ‘itu’ begitu pahit bagimu, tapi itulah yang aku namakan sebagai hidup. Selama kamu masih hidup di semesta ini, kamu tidak melulu bertemu manis. Tuhan tahu kalau kau selalu bertemu manis, kamu pasti terlena, lalu jatuh sejatuhsejatuhnya, tanpa ada satupun manusia yang dapat mengangkatmu setinggtingginya. Manis dan pahit selalu setia berdampingan dan berteman dengan rasa lain. Kataku, pahit tidak selalu pahit. Dia menyembuhkan. Seperti menyembuhkan lukaku dulu.


There’s nothing wrong in being bitter. Remember, medicines taste bitter, but it makes you well and better.



Jakarta, 20 April 2011

0 comments:

Post a Comment

 
 
Copyright © TITA
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com